BAB I
PENDAHULUAN
Pada
pertengahan abad ke dua puluh, tepatnya pada tahun 1947 di India secara resmi
muncul sebuah negara yaitu Pakistan. Jika kita mau menelusuri sejarah
terbentuknnya negara tersebut maka akan didapatkan bahwa umat Islam adalah
pendiri dan penggagas terbentuknya negara tersebut, dalam artian yang meng-konsep, dan
mencita-citakan terbentuknya negara adalah umat Islam.
Terkait
pembahasan mengenai konseptor, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
tentang tokoh, oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang tokoh
yang berperan besar terkait dengan terbentuknya negara Pakistan, yaitu Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal yang dikenal
sebagai Bapak Pakistan dan Muhammadi Ali Jinnah yang dikenal sebagai tokoh yang
mewujudkan terbentuknya Negara Pakistan.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah?
2. Bagaimana pemikiran ketiga tokoh
tersebut dalam pembaharuan Islam di India-Pakistan?
3. Apa hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari pemikiran tiga
tokoh pembaharu tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui latar belakang
pendidikan dari tiga tokoh pembaharu di India-Pakistan.
2. Dapat mengerti dan memahami dasar pemikiran tiga tokoh tersebut dalam pembaharuan Islam di India-Pakistan.
3. Untuk bisa mengambil hikmah dari hasil pemikiran tiga tokoh
pembaharu tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Tokoh-Tokoh Pembaharu di India-Pakistan
1.
Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali
berasal dari keluarga Syiah di zaman Nadir Syah (1736-1747) pindah dari
Khurasan di Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di istana Raja
Mughal. Sayyid Amir Ali lahir pada tahun 1849, dan meninggal pada tahun 1928 dalam
usia 79 tahun. Pendidikannya ia peroleh di perguruan tinggi Muhsiniyyah yang
berada di dekat Kalkuta. Ia belajar bahasa Arab dan Inggris, kemudian sastra
Inggris dan hukum Inggris.[1]
Di tahun 1869,
ia pergi ke Inggris untuk meneruskan studi dan selesai tahun 1873 dengan
memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum. Ia kembali ke India dan bekerja
sebagai pegawai pemerintah Inggris, pengacara, hakim, dan guru besar dalam
hukum Islam.
Pada tahun
1877, ia membentuk National Muhammedan Association, sebagai wadah persatuan
umat Islam India, dan tujuannya ialah untuk membela kepentingan umat Islam dan
untuk melatih mereka dalam bidang politik.
Di tahun 1883,
ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Majelis Wakil Raja Inggris
di India. Ia adalah satu-satunya anggota Islam dalam majelis itu. Selanjutnya
di tahun 1904, ia meninggalkan India dan menetap untuk selama-lamanya di
Inggris.
Pada tahun
1906, ia diangkat menjadi anggota The Judicial Committee of the Privy Council
(Komite Kehakiman Dewan Raja) di London, dan merupakan orang India pertama yang
menduduki jabatan tersebut.[2]
Amir Ali sendiri adalah seorang pemimpin yang dekat dengan pemerintah Inggris
di India. Dia melihat pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari
kemungkinan dominasi orang Hindu di India setelah kemerdekaan diperolehnya.
Setelah berada di London, ia mendirikan cabang Liga Muslimin (didirikan tahun
1906). Ia terlibat pula dalam perundingan-perundingan di London tentang
rancangan pembaharuan politik di India.
2.
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
berasal dari keluarga golongan menengah. Ia lahir pada tahun 1876 di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan
(sekarang)[3]. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, Sialkot,
di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia.
Kemudian ia mendapatkan biasiswa untuk melanjutkan ke Goverment College, di
Lahore, sampai mendapat gelar MA. Di kota Lahore ia berkenalan dengan Thomas
Arnold dan sekaligus menjadi pembimbingya, seorang orientalis yang menurut
keterangan mendorong Iqbal untuk studi ke Inggris. Setelah selesai menempuh
pendidikan di Lahore, Iqbal diangkat menjadi staf dosen di Goverment College
dan mulai menulis syair-syair dan buku.
Akan tetapi,
profesinya sebagai dosen tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1905, atas
dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity
College, Universitas Cambridge London,
sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak belajar
pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Ia juga sering diskusi
dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan
Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah
selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih
gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada
Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia, di
bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, kembali ke London untuk
meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of political science.
3. Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah lahir pada tanggal 25 Desember 1876 di Karachi,
orang tuanya adalah seorang saudagar.[4]
Sejak kecil ia dikenal sebagai seorang yang memiliki kecerdasan pikiran yang
lebih dari pada teman-temannya, sehingga teman ayahnya yang merupakan orang
inggris menganjurkan agar Jinnah melanjutkan pendidikannya ke inggris. Atas
nasehat tersebut, pada umur 16 tahun ia berangkat ke inggris untuk melanjutkan
pendidikannya, dan baru kembali ke India pada tahun 1896, dan bekerja sebagai
pengacara di Bombay.
Sepulang dari Inggris, Ali Jinnah memulai kariernya dengan menjadi
seorang advokat di Bombay. Pada tahun 1906, Ali Jinnah bergabung dengan partai
Kongres Nasional India, akan tetapi politik patuh dan setia kepada Inggris yang
terdapat dalam partainya tidak sesuai dengan pendiriannya yang menginginkan
penentangan terhadap Inggris untuk kepentingan nasional India.[5] Ia
juga menjauhkan diri dari Liga Muslim sampai dengan tahun 1913, yaitu ketika
organisasi tersebut merubah sikap dan menerima ide pemerintahan sendiri bagi
India sebagai tujuan perjuangan. Pada saat itu ia masih mempunyai keyakinan
bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui ketentuan-ketentuan
tertentu dalam undang-undang Dasar, ia juga masih sepakat dengan ide
nasionAlisme India, sehingga ia masih mengadakan perundingan dan pembicaraan
dengan pihak kongres nasional India terkait dengan nasionalisme India.
Akan tetapi, kemudian ia melihat bahwa untuk
memperoleh pandangan yang sama antara umat Islam dan hindu amat sangat sulit,
bahkan ia menolak dan menentang konsep nasionAlisme India Gandhi yang
didalamnya umat Islam dan Hindu bergabung menjadi satu Bangsa, yang pada
akhirnya mengharuskan ia keluar dari partai kongres.
Setelah ia mengikuti Konferensi Meja Bundar di London ia memutuskan
untuk keluar dari arena politik dan menetap di inggris. Di sana ia menjadi
advokat, tetapi pada tahun tahun 1934 atas permintaan teman-temannya termasuk Iqbal
ia kembali ke India, dan pada tahun itu juga ia terpilih sebagai ketua tetap
liga Muslimin. Sekarang ini muslimin dibawah pimpinan Jinnah memiliki semangat baru, dan berubah menjadi
gerakakan yang kuat. dengan adanya perkembangan ini umat Islam India mulai
sadar, bahwa apa yang dikhawatirkan ulama terdahulunya telah menjadi kenyataan,
diamana kekusaan hindu mulai terasa, umat Islam di daerah mayoritas mulai
melihat perlunya adanya barisan kuat umat islam diseluruh Indonesia.
B.
Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu di India-Pakistan
1.
Pemikiran Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali berpendapat dan berkeyakinan bahwa Islam bukanlah
agama yang membawa kepada kemunduran. Sebaliknya Islam adalah agama yang
membawa kepada kemajuan, dan untuk membuktikan hal itu ia kembali ke dalam
sejarah Islam klasik. Karena ia banyak menonjolkan kejayaan Islam di masa
lampau, ia dicap penulis-penulis orientalis sebagai seorang apologis[6],
seorang yang memuja dan rindu kepada masa lampau dan mengatakan kepada lawan; “Kalau
kamu sedang maju sekarang, kami juga pernah mempunyai kemajuan di masa lampau.”[7]
Umat Islam, terutama umat Islam sebelum abad ke-20, karena
perhatian terlalu banyak dipusatkan pada ibadah dan hidup kelak di akhirat,
tidak memperhatikan sejarah lagi, dan oleh karena itu lupa pada kemajuan mereka
di zaman klasik.
Berikut beberapa pandangan Sayyid Amir Ali yang cukup menonjol:[8]
a.
Terhadap
perbudakan, Islam berbeda pendapat dengan agama lain. Menurut Amir Ali, Islam
berusaha menghapus perbudakan dengan cara memberikan kesempatan untuk membeli
kemerdekaannya, baik dengan upah yang diperolehnya maupun dengan cara yang
lain. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat harus dipandang sederajat dengan
anggota masyarakat lainnya.
b.
Poligami
pada dasarnya terlarang kecuali dengan syarat-syarat tertentu dan perceraian
harus ditolak. Poligami dan perceraian adalah merupakan kelemahan moral.
Dalam ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sistem perbudakan
diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan dapat
diterima hanya untuk sementara. Ajaran-ajaran mengenai perlakuan baik dan
pembebasan terhadap budak, pada akhirnya harus membawa kepada penghapusan
sistem perbudakan dalam Islam.
2.
Pemikiran Muhammad Iqbal
Satu hal yang menarik tentang ide pembaharuan Iqbal
ialah meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Eropa ia tidak berpendapat
bahwa Barat-lah yang harus dijadikan contoh, menurutnya
yang harus diambil umat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Sementara kapitalisme dan
imperialisme barat ditentangnya, karena Barat menurutnya sangat
dipengaruhi oleh materealisme dan telah meninggalkan agama.
Pemikiran Iqbal yang dikenal sebagai seorang filosof sekaligus
penyair, perihal kondisi Islam mempunyai pengaruh yang luas terhadap gerakan
pembaharuan dalam Islam. Sebagaimana para pembaharu lain, Iqbal juga
beranggapan bahwa kemunduran umat Islam yang berlangsung sangat panjang
disebabkan oleh: Pertama, kebekuan dalam pemikiran umat Islam, hukum dalam
Islam telah bersifat statis, padahal menurutnya hukum dalam Islam sebenarnya
tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Kedua, angagapan kaum konservatif
yang menganggap rasionalisme yang dipelopori kaum mu’tazilah membawa kepada disintergrasi
yang dapat mengganggu kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Iqbal
mengkritik pendapat ini dengan menyatakan bahwa menurutnya Islam, pada
hakikatnya mengajarkan dinanisme, dan sangat menganjurkan pemakaian akal. Paham
dinamisme Islam yang ditonjolkan Iqbal
menjadikannya mendapat kedudukan penting dalam pembaharuan di India.
Iqbal juga menyatakan bahwa hancurnya Baghdad
sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke-3 adalah
faktor dominan yang menyebabkan kemundura umat Islam, ia juga menyatakan bahwa zuhud
yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang hanya mengharuskan pemusatan perhatian
kepada Tuhan dan apa yang berada dibalik alam materi menjadikan umat Islam
kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam. Oleh karena itu, Iqbal dalam ceramahnya sering menganjurkan agar
ditingkatkan solidaritas antar umat dan persaudaraan Muslim untuk bisa
melepaskan dari jajahan asing. Ide ini didukung oleh semua rakyatnya baik dari agama
Islam maupun agama Hindu. Akan tetapi,
ide Iqbal terkait nasionalisme yang
berupa solidaritas antar agama mengalami perubahan, nasionalisme India yang
mencakup Muslim dan Hindu sangat bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat
diwujudkan, bahkan ia curiga akan adanya konsep new-hinduisme dibalik “Nasionalisme” yang mendapat dukungan dari umat Hindu.
Menurut Iqbal, di India terdapat dua umat besar, dan dalam
pelaksanaan demokrasi Barat di India, kenyataan itu harus diperhatikan, karena
nasionalisme ala Barat menurutnya akan melahirkan materialisme dan
atheisme yang dapat mengancam bagi peri kemanusiaan.[9]
Hal itu selain disebabkan penolakan Iqbal terhadap ide-ide Barat, juga
dikarenakan adanya tuntutan umat Islam untuk membentuk sebuah pemerintahan
sendiri. Sehingga kemudian terbentuklah pemerintahan Pakistan yang secara resmi merdeka pada tahun 1947.
Terkait dengan berdirinya Pakistan, Iqbal adalah seorang tokoh politik dan
pembaharu yang memiliki peran besar bahkan disebut sebagai Bapak Pakistan,
karena sejak ia menjabat sebagai presiden Liga Muslimin, ia banyak memaparkan
tentang perlunya membentuk negara muslim, bahkan dalam pidato kepresidenannya
ia menyatakan bahwa terbentuknya negara muslim itulah yang menjadi tujuan akhir
umat Islam.
Tujuan membentuk negara tersendiri ini, ia tegaskan dalam rapat
tahunan Liga Muslimin tahun 1930. “Saya ingin melihat Punjab, daerah
perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan bergabung menjadi satu negara.”[10]
Disinilah ide dan tujuan membentuk negara tersendiri diumumkan secara resmi dan
kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India.
3. Pemikiran Muhammad Ali Jinnah
Terbentuknya negara Pakistan, pemikiran
pembaharuan Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik, pada awalnya ia
beranggapan dan menganjurkan adanya nasionalisme India, untuk melepaskan diri
dari jajahan Inggris, akan tetapi dari hasil realitas dan pengalaman yang ia
rasakan membuatnya merubah haluan politiknya sejak ia menemukan kekecewaan
bersama partai kongres. sejak itulah ia beranggapan bahwa kepentingan umat
Islam di India tidak bisa lagi dijamin melalui perundingan dan terbentuknya
sebuah undang-undang dasar India secara keseluruhan. Tetapi kepentingan umat Islam akan terjamin hanya melalui pembentukan
negara tersendiri yang terpisah dari negara umat Hindu di India. Ali Jinnah mulai membahas
masalah pembentukan negara Islam di rapat tahunan Liga Muslimin yang diadakan
di Lahore pada tahun 1940, yang kemudian menghasilkan persetujuan bahwa
pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam sebagai tujuan perjuangan Liga
Muslimin. Sejak itulah Jinnah mulai
memperjelas tentang negara Islam yang akan dibentuk (Pakistan). Menurutnya
negara tersebut ialah sebuah negara yang berada dibawah kekuasaan umat Islam, tetapi
tidak melupakan peran serta non-muslim dalam pemerintahan dengan menyesuaikan jumlah mereka disetiap daerah.
Pembentukan
negara Islam (Pakistan) Jinnah dan Liga Muslimin mendapatkan dukungan umat
Islam India, hal itu terlihat dari hasil pemilihan 1946, dimana Liga Muslimin
memperoleh kemenangan di daerah-daerah yang nantinya masuk Pakistan. Kedudukan
Ali Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India
mengenai masa depan Islam semakin kuat. Dan pada tahun 1947 Inggris mengeluarkan
putusan untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua dewan konstitusi, satu untuk
Pakistan dan satu untuk India.[11]
Pada tanggal 14 Agustus 1947 dewan konstitusi Pakistan dibuka dan pada tanggal
15 Agustus 1947 diresmikan, Ali Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jendral atau
Pemimpin besar bagi rakyat Pakistan, dan pada hari itulah Pakistan lahir
sebagai sebuah Negara umat Islam yang merdeka baik dari inggris ataupun India.
C.
Implikasi Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu di India-Pakistan
Berawal dari pemikiran Sayyid Amir Ali yang mengatakan bahwa Islam
bukanlah agama yang membawa kemunduran, akan tetapi justru sebaliknya Islam
dapat membawa kamajuan. Hal ini menunjukan bahwa Islam menginginkan agar
umatnya berpikir maju, mengarah ke masa depan. Islam sendiri telah mengajarkan
agar umatnya mau berusaha dalam segala hal. Tak lantas begitu saja mengabaikan
kepentingan dunia karena mengejar kepentingan akhirat.
Mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan antar umat, bukan saja
antar umat se-agama melainkan antar umat beragama. Sehingga segala tujuan yang
ingin dicapai akan lebih mudah diwujudkan. Kebersamaan dan kerjasama yang
ditunjukkan oleh umat Islam di India menjadi pelajaran yang sangat berharga
bagi kita semua yang mengingkan akan kebebasan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat
keberhasilan para tokoh pembaharuan di India-Pakistan tak bisa dilepaskan dari
latar belakang pendidikannya. Karena memang latar belakang pendidikan itu
sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dihasilkan. Selain itu
keberhasilan yang bisa dicapai tak begitu saja menyampingkan peran dari umat
Muslim di India. Keinginan untuk mendirikan negara tersendiri sudah menjadi
cita-cita bersama.
Sayyid Amir Ali
beranggapan bahwa Islam bukan agama yang membawa kemunduran, justru malah
sebaliknya Islam dapat membawa kemajuan. Ia melihat kamajuan yang dicapai umat
Islam pada masa klasik merupakan bukti nyata bahwa Islam dapat membawa
kemajuan.
Iqbal
mengatakan bahwa umat Islam di India harus membebaskan diri dan membentuk
negara tersendiri agar terlepas dari cengkraman Barat. Dan tekad untuk
mendirikan negara Islam di India akhirnya terwujub setelah Iqbal
memproklamirkan berdirinya negera Pakistan.
Tak jauh
berbeda dengan pemikiran Iqbal terkait dengan pembentukan negara Islam di
India, awalnya Ali Jinnah lebih terjun pada ranah politik, akan tetapi setelah
melihat dan merasakan sendiri bahwa kepentingan umat Islam tak bisa dipenuhi
hanya dengan perundingan semata, hanya dengan pembentukan negara sendiri segala
kepentingan umat Islam akan terpenuhi.
B.
Kritik
dan Saran
Kami selaku
penulis menyadari bahwa dalam penyampaian makalah ini masih banyak kekurangan,
baik dari segi teknik penulisan, isi, maupun yang lainnya. Maka, kami
mengharapkan kepada para pembaca kritik dan sarannya yang bersifat membangun
demi kesempurnaan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. 1998. Alam Pikiran Islam Modern di
India dan Pakistan. Bandung: Mizan.
Asmuni, Yusran. 1995. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bilgrami. 1982. Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan
Pikiran-Pikirannya. terj. Djohan
Effendi. Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan
dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),
(Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 181.
[2] H.
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Cet. 3;
Bandung: Mizan, 1996), h. 143.
[3]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),
(Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 190.
[4]
Ibid., h. 195.
[5]
Ibid.
[6]
Apologis berasal dari kata apologi yang berarti tulisan atau pembicaraan formal
yang digunakan untuk mempertahankan gagasan, kepercayaan, dan sebagainya. Lihat
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[7]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),
(Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 182.
[8]
H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam, (Cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 43-44.
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan),
(Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 193.
[10]
Ibid., h. 194.
[11]
Ibid., h. 199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar