BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
dikatakan sebagai khalifah di muka bumi, memiliki suatu tanggung jawab yang
besar. Karena itu dalam
bentuk penciptaanya juga berbeda dengan makhluk lain, hal ini terbukti dengan
adanya akal yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Akal sebagai daya berfikir
yang ada pada diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan
melalui suatu jalan yang benar dalam pandangan akal manusia tersebut.
Dalam
mencari kebenaran, Allah Swt tidak hanya memberikan kemampuan berpikir saja
melainkan juga memberikan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun
kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah Swt.
Para ilmuan membahas masalah-masalah keagamaan tidak
semata-mata berpegang pada wahyu Allah tetapi banyak pula yang bergantung pada
pendapat akal. Peran akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan
dijumpai bukan saja dalam salah satu bidang keilmuan tetapi juga dalam bidang
filsafat, fikih, tauhid, dan bidang-bidang kajian keagamaan lainnya. (Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 1986: 71)
Peranan akal dalam mengkaji suatu keilmuan termasuk dalam
filsafat, teologi dan sebagainya, sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW.
Sebagaimana diceritakan. Ketika Muaz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur,
sebelum beliau berangkat melaksanakan tugas, Rasulullah meras perlu bertanya
kepadanya: “Wahai Muaz, dengan apa engkau memutuskan suatu perkara?” Muaz
menjawab: “Aku memutuskan suatu perkara dengan berdasarkan kitab Allah, al
Qur’an.” Rasulullah melanjutkan bertanya: “Jika sekirany tidak terdapat dalam
kitab Allah?” Muaz menjawab: “Maka aku memutuskan perkara dengan Sunnah
Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Bagaimana kalau engkau tidak
mendapatkannya dalam Sunnnah Rasulullah?” Muaz menjawab: “Dalam keadaan
demikian, aku menggunakan akalku sekuat tenaga dan tidak akan
melebih-lebihkannya.” Mendengar jawaban Muaz Nabi Muhammad merasa gembira dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kapada
utusan-Nya.” (Hadis yang dikutif oleh H.M. Harun Nasution, 1986: 70 )
Kemudian dalam perkembanganya jika dihubungkan antara
filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan
kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan
filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para
filosof yang kritis dan tajam. Untuk mengetahui perkembangan Pemikiran Filsafat
dalam Islam, akan kita kaji dalam pembahasan berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana asal
usul pemikiran filsafat Islam?
2.
Apa landasan dan Pokok Ajaran dalam Filsafat Islam?
3.
Bagaimana perkembangan dan pengaruh pemikiran filsafat dalam Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal
usul Pemikiran Filsafat dalam Islam
Selain
wahyu yang telah dibawa para nabi sebagai pegangan hidup, Islam juga memberikan
kebebasan pada manusia untuk berpikir dalam membahas masalah-masalah keagamaan,
bukan hanya dalam bidang tafsir, fiqh tawhid tetapi juga dalam bidang falsafat.
Berawal
dari hasil pemikiran akal inilah munculnya aliran-aliran teologi Islam
seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiah, dan Syi’ah. Dalam
perkembanganya aliran-aliran ini terpecah menjadi beberapa golongan, misalnya
aliran Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan, yang terbesar di antaranya
adalah Ghulatus Syi’ah, Syi’ah Imamiah, Rafidhah dan Zaidiyah. Untuk memahami
perkembangan pemikiran mereka lebih jauh dapat kita lihat dalam pendirian
golongan – golongan yang terpecah belah itu. Al-Baghdadi menyatakan, lahirnya
konsepsi tsybih dan tajsim untuk pertama kalinya berasal dari golongan Ghulatus
Syi’ah dan Rawafidh.
Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan aliran Mu’tazilah
yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Syi’ah pengikut imam dua
belas ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa segala sesuatu
atas-Nya, tidak disifatkan dengan sifat-sifat yang juga disifatkan kepada
makhluk, bukan jisim, bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak ada
ukuran berat…, tidak gerak atau diam, tidak bertempat, tidak beranak dan tidak
berperanakkan…” (H.M. Laily Mansur, 1994: 40-42)
Syi’ah Imamiah lebih cendrung mengkafirkan orang yang
berpendirian tasybih, sebagaimana dinyatakan oleh sayid Muhammad Ridha
al-Muzfar : “Dan barang siapa yang menyatakan dengan tasybih atau Tuhan-Nya
dengan menggambarkan bagi-Nya ada wajah, tangan dan mata, atau turun kelangit
dunia, atau bagi ahli surga Dia tampak seperti bulan dan sebagainya, maka orang
yang menyatakan demikian berada di tempat kafir, dan orang itu jahil atas hakekat
Tuhan Yang Maha Suci dari sega kekurangan.
Salah satu golongan lain di dalam Syi’ah yaitu Ismailiah
yang amat banyak terpengaruh pada filsafat, sebagaimana yang dituturkan oleh
Imam Syahrastani, yang dikutif oleh Laily Mansur. Menurut Ismailiah, tidak dikatakan
bagi-Nya maujud atau tidak maujud, tidak alim dan tidak jahil,
tidak qadir dan tidak ‘ajiz (lemah). Demkian seterusnya
terhadap semua sifat. Hujjah mereka kedalam hal ini adalah bahwa penetapan
hakiki terhadap sifat-sifat itu membawa kepada berserikat antara Dia dengan
semua maujud di dalam sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya. Yang demikian itu
membawa kepada syirik dan tasybih. Oleh karena itulah tidak mungkin menghukum
dengan penetapan sifat-sifat Tuhan itu secara mutlak dan tidak mungkin pula
penolakan secara mutlak.
Setelah aliran Syi’ah Ismailiah ini dimasuki oleh
Filsafat Yunani, khususnya Neo Platonisme di masa Khalifh Al Ma’mun dengan cara
intensif mengawinkan ajaran-ajaran agama dengan filsafat, maka dari sinilah
mulai terjadinya penyimpangan-penyimpangan khususnya dikalangan Ikhwanus Shafa,
yang menghasilkan ajaran-ajaran yang ekstrim. Mereka meyakini bahwa imamah atau
khilafah menuruti jalan nash dan ketetapan dan Imam itu adalah maksum, rakyat
wajib mengetahuinya, membaiat dan taat kepadanya.
Pengaruh yang mendalam dari filsafat Neo Platonisme
aliran Syi’ah Ismailiah juga percaya kepada teori emanasi. Nabi menduduki
tempat sebagai akal pertama bersama imam-imam dan jiwa semesta. Dn ilmu
pengetahuan yang memiliki aspek batin bisa sampai kepada tingkat rahasia
pengetahuan batin tertinggi. Sedangan bagi orang-orang awam hanya memiliki ilmu
pengetahuan lahiriah saja. (H.M. Laily Mansur, 1994: 50)
Aliran Syi’ah lain yang cukup besar pengikutnya adalah
golongan Zaidiah, yang dipimpin oleh Zaid bin Hasan bin Ali bin Husen bin Ali
bin Abi Thalib, aliran ini agak moderat dan mengarah pada Ahlus Sunnah. Karena
Zaid berguru kepada Wasil bin Atha, maka Zaid tidak bisa melepaskan pengaruh
gurunya dan dalam hal ini pengaruh Mu’tazilah.
Dengan pemikiran yang terbuka, aliran Syi’ah telah
mencoba untuk mempelajari dan menerima Filsafat Yunani. Kemudian pada akhirnya
terlahir filosof-filosof muslim, di dunia abad yang baru lalu saja (abad
ke-20), seperti: Thabathaba’I, Murtadha Muthahhari dan yang masih hidup seperti
Jalal Al-Din Asythiyani. Bahkan jauh sebelumnya telah lahir filosof muslim
seperti; Al Kindi, al-Razi al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan seterusnya.
Memang sebenarnya proses sejarah masa lalu, tidak dapat
dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat
Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka
banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak
teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan
para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru
kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang
berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak
berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam
itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles. Kalau filsafat Yunani merupakan
salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga
menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu
dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai
bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah
dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza,
misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu
Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang
berbeda-beda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan Islam pernah
menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi.
Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika
kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak
terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi
dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan
penjiplakan.
Kenyataan yang ada juga telah menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat
Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani
Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama
muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti
Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti
Yahya al-Balmaki, Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa
ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat
intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi).
Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’
(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin
resmi Negara. (Harun Nasution, 1986: 38)
Demikian juga dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar
rasional dalam penggalian hukum (istinbath)
dengan istilah-istilah seperti ijtihad,
istihsan, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan. (Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam: 73)
Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah
(699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M),
mereka hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. ( Arsyad, Natsir, 1995: 110)
B.
Landasan dan Pokok Ajaran dalam Filsafat Islam
Melalui uangkapan yang mengatakan bahwa setiap murid yang
belajar kepada gurunya tidak semua ilmu yang diberikan guru harus di ambil,
akan tetapi adakalanya perlu analisis terlebih dahulu dan perlu pendalaman.
Demikian juga Filsafat Islam walaupun para filosof Islam ada yang berawal dari
mempelajari Filsafat Yunani akan tetapi bukanlah filsafat yang dibangun dari
tradisi filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi dibangun dari
tradisi sunnah Nabi dalam berpikir yang rasional transedental, yang merujuk
dari sunnah Nabi dalam berpikir yang akan menjadi tuntunan dan suritauladan
bagi kegiatan berpikir umat Islam.
Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih
hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada
beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan
tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan
persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam
yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci,
al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian
resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan
takwa. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan
masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan
terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan
mendalam, karena ia berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian
yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak)
dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih
mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan-persoalan
yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah
larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada
emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam
juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya
kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu
gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat
kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas
segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai
perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis
(menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan
tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua
itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog
untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang
diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani.
Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada
premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan
argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang
filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah
itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. (
Sudarsono, Filsafat Islam, 1997: 95)
Metode berpikir dalam Filsafat Islam, yaitu rasional
transedental, dan berbasiskan al Kitab dan Hikmah, pada dialektika fungsi
AlQur’an dan aqal untuk memahami realitas. Secara operasional bekerja melalui
kesatuan organik pikir dan Qolb, yang menjadi bagian utuh kesatuan diri atau
nafs. Filsafat Islam pada hakekatnya adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Yang di
maksud filsafat kenabian adalah realitas pengetahuan dan nubuat kenabian
sebagai suatu landasan ontologis, epistemologis, serta aksiologis bagi
konstruksi pemikiran Islam. Realitas pengetahuan yang didasarkan pada filsafat
Kenabian ini bersumber dari dialektika rasio dan wahyu.
Filsafat Islam membahas hakikat semua yang ada, sejak
dari tahap ontologis, hingga menjangkau dataran metafisik. Filsafat Islam juga
membahas mengenai nilai-nilai, yang meliputi dataran epistemologis, estetika
dan etika, serta membahas pula tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia,
yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan yang sesuai dengan kecenderungan
perubahan Jaman. (lihat: Musa Asy’arie, Filsafat Nabi, Sunnah Nabi dalam
Berpikir, 2001: 87). Disini membuktikan bahwa filsafat Islam mengkaji mengkaji
berbagai aspek, baik yang fisik maupun metafisik, baik urusan dunia ataupun
urusan akherat.
C.
Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran Filsafat dalam Islam
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan
dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas,
khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar
dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh
al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani
dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani
dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan
penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan
yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok
yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam,
seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri
sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas
seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah
zindiq. (lihat; Buku Sudarsono, Filsafat Islam; 1997)
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana
muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan
argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak
memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang
tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat
bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari
agama. Demikian juga Al-Kindi diuangkapkan oleh Harun Nasution Al-kindilah
filosof Islam pertama yang menjelaskan bahwa tiada pertentangan antara agama
dan filsafat. Titik pertemuan antara keduanya terletak pada kebenaran al-haqq. Harun Nasution: 1986, Akal dan
Wahyu, H. 82)
Falsafat dalam pengertian Al Kindi adalah pembahasan
tentang kebenaran, bukan untuk diketahui saja tapi juga untuk diamalkan. Agama
juga datang untuk kebenaran. “Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya
adalah falsafat pertama, yaitu ilmu tentang Yang Maha Benar Pertama, yang menjadi
sebab bagi tiap kebenaran”, Yang Maha Benar Pertama adalah Tuhan Pencipta alam
semesta. Jadi Agama dan Falsafat ada persesuaian. Perbedaannya hanyalah bahwa
falsafat memperoleh kebenaran melalui akal sedang agama melalui wahyu.(Atiyeh,
George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,
1983)
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai
salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925).
Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai
seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua
pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi
manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah
satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang
konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya
omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu
Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas
bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang
imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan
ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani.
Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan,
pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani
akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua,
adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme,
orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu
semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan
perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat
Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang
dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran
filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap
ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh
muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang
ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Al-Razi menolak kenabian dengan tiga
alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna
dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur
kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2)
Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang
lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya
pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi
ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama,
mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn
Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya
pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan
kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang
tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan
posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan
mulailah terjadi revolosi orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan
diganti dari kalangan salaf.
Pada masa khalifah al-Mutawakkil, khususnya di ibu kota
Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan
berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi,
diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus,
kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang
filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof
paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi
bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat
Islam sehingga dianggap sebagai guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru
pertama. ( Harun Nasution, 1986: 63-64)
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai
metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode
burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi
(ilm al-kalam) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode
burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu
filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu
filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian
ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah
metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik. (Sudarsono, Filsafat
Islam, 1997: 14)
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika
dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi
puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina
(980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan
bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana
dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham
emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan
adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi
dari sukma yang disebut akal. (Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, 1988: 51)
Akan tetapi, setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali
mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri
sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Falasifah yang dikutip Harun
Nasution dan bukunya Akal dan Wahyu. Al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang
persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga
masalah pokok yang membuat filosof, kata Al-Ghazali, menjadi kafir, pertama, tidak bermulanya (qadimnya)
alam, kedua, tidak taunya Tuhan
tentang perincian yang terjadi di alam, dan ketiga,
tidak adanya pembangkitan jasmani.
Al-Farabi dan Ibn Sina, dengan falsafah emanasi mereka,
berpendapat bahwa ala mini diciptakan Tuhan semenjak azal dengan jalan emanasi
atau pancaran. Semenjak azalTuhan memancarkan dan yang dipancarkan itu harus
telah mempunyai wujud semenjak azal pula. Yaitu Tuhan memancarkan akal-akal dan
akalmerupakan daya. Dengan demikian energi bersifat azali atau qadim dalam arti
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, tetapi sungguhpun demikian ia
tetap adalah ciptaan Tuhan. Antara wujud energi dan wujud Tuhan tidak ada perbedaan
waktu, yang ada ialah perbedaan dalam urutan esensi. Tuhan lebih dahulu dari
energi dalam urutan dan bukan dalam waktu. (Sudarsono, Filsafat Islam, 1997:
54)
Mengenai masalah kedua, tidak tahunya Tuhan tentang
perincin yang terjadi di alam ini, kesimpuan demikian memang dapat ditarik dari
falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tuhan dalam falsafat itu berfikir
tentang dirinya dan dari pemikiran tentang dirinya inilah terjadi penciptaan
alam dan dengan demikian jauh dari perincian yang terjadi di alam. Selanjutnya
dikatakan dengan akal yang sepuluh lebih dekat kepada alam dan lebih bias
mengetahui perincian yang terjadi di dalamnya. Dan yang ketiga, tidak adanya
pembangkitan jasmani dapatpula disimpulkan dari falsafat Al-Farabi dan Ibn Sina
tentang jiwa manusia atau akal, daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia,
adalah unsur terpenting dari manusia. Kebahagian manusia yang sebenarnya
bukanlah kesenangan jasmani, tetapi kebahgian rohani, dan kebahagian sebenarnya
adalah kebahagian di akherat nanti. Untuk mencari kebahagian rohani kaum
filosof dengan komunikasi intelektual dengan Tuhan dan sufi dengan melihat
Tuhan melalui hatinurani.
Untuk menentang kritik yang dimajukan Al Ghazali sebagai
dijelaskan di atas, Ibn Rusyd menulis buku Tahafut
Al Tahafut, di dalamnya ia jelaskan bahwa penciptaan bukanlah dari tiada
tetapi dari yang ada. Ibnu Rusyd mencontohkan Biji umpamanya berobah menjadi
anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan
disambung-sambung menjadi meja,meja usang menjadi bahan baker, bahan baker
dibakar menjadi abu dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak ada begitu saja,
demkian pula yang lainya. Yang terjadi ialah “ada” berobah menjadi “ada”.
Mengenai masalah kedua Ibn Rusyd mengatakan bahwa
pertentangan antara Al Ghazali dengan kaum filosof timbul dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan tentang kekhususan
diperoleh dari panca indra dan keumuman diperoleh melalui akal. Maksudnya
kelihatannya Tuhan bersifat imateri dan dengan demikian pada diri Nya tidak
terdapat pancaindera untuk mengetahui kekhususan. Kemudian pengetahuan Tuhan
bersifat qadim sedangkan pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan
adalah sebab sedangkan pengetahuan manusia tentang kekhususan akibat. Tentang
tidak adanya pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd dalam hal ini kurang rinci dia
mengatakan semua agama mengakui adanya hidup kedua di akhirat, walaupun da
perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas dia mengatakan hidup di
akhirat nanti berbeda dengan hidup di dunia sekarang. (Sudarsono, 1997: 54-57)
Perkembangan corak berpikir para filosofis di atas dan
menampakkan kontradiktif hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari luar
terhadap pemikiran filsafat islam. Dan ini tidak bisa di pungkiri bahwa
kontribusi filsafat Yunani dalam dunia islam sangat besar sekali meskipun pada
awalnya banyak yang tidak menerima filsafat Yunani. Karena banyaknya
penentangan tersebut maka para filosofis seperti Ibn Rusyd mempertahankan
argumennya dan menjelaskan pemikiran filsafatnya dengan mengasimilasikan antara
akal dan wahyu Allah SWT. Meskipun tidak semua menerima, akan tetapi dengan
buku Tahafut Al Tahafut yang di
karang oleh Ibn Rusyd .tidak sedikit
yang tercerahkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu
disampaikan. Pertama, Bahwa filsafat
Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, akan tetapi tetap
merujuk dari sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam
adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Kedua, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata
mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran aneh tapi kemudian
dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran
agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat
dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi
kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd
tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab
Syi`ah.
DAFTAR
PUSTAKA
Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat
Pemikiran Ibn Sina, Solo: Pustaka Mantiq, 1988
Asy’arie, Musa, Filsafat
Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Lesfi, 2001
Atiyeh, George N., Al-Kindi
Tokoh Filosof Muslim, Bandung: Pustaka, 1983
Leaman, Oliver, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 1988.
Mukti Ali, Agama
Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998
Nasution, Harun, Akal
dan Wahyu dalam Islam, UI Press, cet. 2, 1987.
Nasution, Harun, Teologi
Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, 1972
Sudarsono, Filsafat
Islam,Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar