BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibadah
merupakan rangkaian ritual yang dilakukan sebagai wujud ketaatan seorang hamba
kepada sang Pencipta. Dalam hal ini ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah,
seperti shalat, zakat, puasa, maupun haji. Sahnya ibadah yang dikerjakan
sepertihalnya dalam shalat harus disertai dengan niat.
Niat merupakan hal yang
paling utama dilakukan dalam ibadah. Niat yang dimaksud di sini ialah mengucapkan
dalam hati berkaitan dengan ibadah yang dikerjakan. Seperti dalam shalat; saya
berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah taala.
Posisi niat
itu berada pada awal rangkaian shalat. Niat itu mempunyai kedudukan yang
penting. Maka, ibadah seseorang dikatakan sah jika dikerjakan dengan niat untuk
melakukannya.
B.
Rumusan
Masalah
Sesuai dengan
latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan niat?
2.
Apakah dasar hukum niat?
3.
Adakah amalan yang dapat bernilai
ibadah?
4.
Apa urgensi niat dalam perbuatan?
5.
Bagaimana niat ibadah sebagai
tujuan syariat?
6.
Apa pengaruh niat terhadap hal-hal
yang mubah dan kebiasaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Niat
Menurut bahasa niyyat
adalah bentuk masdar (asli) dari kalimat nawa syai’an yanwihi niyyatan wa
nawahu. Lafazh an-niyyat meskipun bentuk masdar, apabila dijadikan bentuk jamak
dengan segala jenisnya, maka akan menjadi niyyatun (Sulaiman 2006, 2). Oleh karena itu, terkadang an-niyyat itu
adalah suatu tindakan yang memang benar-benar wujud dan terkadang juga
dihukumi tidak wujud atau terkadang
tergantung kepada tujuan si pengucap niat.
Secara istilah niat
diartikan sebagai suatu tujuan dan keinginan adalah merupakan pandapat yang
kuat dengan alas an melihat kebiasaan orang Arab yang menggunakan kalimat
tersebut. Jadi, tujuan dan keinginan adalah merupakan bagian dari niat.
B.
Dasar
Hukum Niat
Jika kita benar-benar
menelaah ayat-ayat Al-Qur’an, niscaya kita akan mendapatkan ayat-ayat yang
berbicara tentang al-qashdu dan an-niyyah. Pada umumnya ayat-ayat yang
berbicara tentang al-qashdu dan an-niyyah adalah ayat yang berbicara tentang
al-iradah dan al-ikhlash. Sementara kata yang digunakan Al-Qur’an untuk
menunjukkan makna al-qashdu dan an-niyyah adalah kata ibtigha’.
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ
بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الأمْرِ وَعَصَيْتُمْ
مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا
وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ
وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada
kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah
dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah
memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.
Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan
sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali-Imran: 152)
Matan Hadits tentang Niat:
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
[رواه إماما
المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري
وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما
أصح الكتب المصنفة]
Kosakata (Mufrodat):
الأعمال
(العمل) : Perbuatan
|
امرء : Seseorang
|
نوى : (Dia) niatkan
|
امرأة : Seorang wanita
|
Dari Amirul
Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan([1]) tergantung
niatnya([2]). Dan
sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya ([3])
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam
hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang
paling shahih yang pernah dikarang).
a.
Asbabul
Wurud
Tentang
asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita
bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi
sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut
dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan
tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu’allam. (Jami’ul Ulum Wal Hikam,
I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37).
Kata
Ibnu Hajar Al-Asqalani: “…Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan
hadits innamal a’malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). Aku tidak
melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu.”
(Fat-hul Bari, I/10).
Syaikh
Salim bin ‘Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul
wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami’il Ulum Wal
Hikam, hlm.37).
b.
Kedudukan
Hadits
Banyak perkataan ulama tentang
hadits ini, di antaranya:
1.
Imam
Nawawi berkata, ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits
ini dan sangat banyak manfaatnya.”
2.
Imam
Syafi’i berkata, ”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh
puluh bab masalah fiqh.” (Syarah Shahih Muslim, XIII/53).
3.
Imam
Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, ”Hadits tentang niat masuk
dalam tiga puluh bab masalah ilmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau
juga: “Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan
hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan
memperbaiki niatnya.” (Syarah Muslim, XIII/53; Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/61).
Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini. Abu Abdillah mengatakan,
”Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling
banyak manfaatnya, melainkan hadits ini.” (Tuhfatul Ahwadzi V/286).
4.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan
pokok penting dari prinsipprinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap
amal.” (Majmu’ Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok
agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari
hadits-hadits tersebut.
5.
Imam
Syaukani berkata, ”Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak
cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak
ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” (Nailul Authar, I/159).
c.
Makna
Hadits
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
(innama)
susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr
pembatasan,yang diartikan dengan “hanya”, maka hashr ialah, menetapkan
hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal
Arba’in an-Nawawiyah, hal. 25).
اْلأَعْمَالُ
Artinya, “amal-amal”. Kata jamak
dari yang diawali dengan alif lam ال , yang menunjukkan arti istighraq yang
berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan
niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan
makan, minum, berpakaian dan yang
lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau
menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya
bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam
al-Muntaqa min Jami’il ‘Uluum wal Hikaam, hal. 30-31).
Jadi maknanya,
setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar
1/157). Bisa juga diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima,
ditolak, diganjar atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan
buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31).
C.
Amalan Yang Dapat Bernilai Ibadah Dengan Niat
Amalan yang
dapat memiliki nilai ibadah , karena Anda melakukannya dengan niat yang baik
ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan
niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda
melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih
pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
Dan yang
dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas tersebut,
tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai contoh;
berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk memenuhi kebutuhan
biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri Anda dan
istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi Anda, tanpa
mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda :
وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي
حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي
الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Dan dengan melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa
mendapatkan pahala". Spontan para Sahabat bertanya keheranan, "Wahai
Rasulullah, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi, kita mendapatkan
pahala karenanya?' Rasulullah balik bertanya, "Apa pendapat kalian bila ia
melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula
sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia
mendapatkan pahala." (HR. Muslim)
Imam Nawawi رحمه الله berkata, "Pada hadits ini terdapat
dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai ibadah. Hubungan
badan -misalnya-bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri,
atau memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allah perintahkan.
Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga
dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga dengan maksud
melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau
menginginkannya atau niat-niat baik yang lain." (Syarah Shahih Muslim
oleh An Nawawi 7/92).
Kalau ini baru
Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak amal
rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan.
Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut
semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa
menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik Anda.
Dengan
demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas
Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan
lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau
tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allah عزّوجلّ. Tanpa niat
yang baik nan tulus, Anda tidak mungkin meraihnya.
Sekali lagi
renungkan! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka senang
dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat menjalankan
kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allah kepada Anda sebagai suami, tentu
ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping istri Anda tetap
senang dan dengan izin Allah semakin setia kepada Anda.
Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا
حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi
mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai
pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu. (Muttafaqun 'alaih)
Bila demikian,
manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai rutinitas
belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allah عزّوجلّ padanya? Jawabannya, tentu yang kedua.
D.
Urgensi Niat dalam Perbuatan
Salah
satu perkara yang menunjukkan akan pentingnya niat di dalam pelaksanaan ibadah
dan perbuatan adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiari tidak
akan dilakukan oleh manusia tanpa didahului dengan keinginan untuk melakukan
perbuatan tersebut. Dalil dari pendapat ini adalah sabdar Rasulullah SAW, yang
artinya, “Orang yang paling jujur adalah Haris dan Hammam”.
Ibnu
Hammam juga mengatakan bahwa setiap perbuatan yang bersifat ikhtiyari haruslah
dilakukan dengan niat. Sementara Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berniat untuk
suatu perbuatan adalah sesuatu yang sangat penting bagi jiwa, seandainya setiap
hamba dibebani untuk melaksanakan suatu perbuatan tanpa niat, sesungguhnya
mereka telah dibabani dengan sesuatu yang tidak akan dapat mereka kerjakan.
E.
Niat dan Tujuan Syariat
Imam
Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu
mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi
rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh
Masyhur Hasan Salman).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam
maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang
memperoleh apa yang diniatkan. Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan
dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang
yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya.
Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan
tindakan apapun.
Pengaruh
niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal
qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat.
Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka
dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi
semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan
itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah. Contoh lain, ada seseorang tidak
makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau
karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa.
Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu
yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak
dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan.
Imam
Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut. Pertama,
untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di
masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf.
Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk
membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki
yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan,
dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Barangsiapa berperang dengan
tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”.
(HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan Muslim
Kitabul
Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan
an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari) Kedua, untuk membedakan
antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan
shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat
(ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat.
Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan
untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang
lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat.
(Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). Kata niat yang sering diulang-ulang
dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang
dengan makna iradah, dan terkadang dengan makna qashd dan
sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al-Isra` ayat 18-19.
F.
Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal yang Mubah dan Kebiasaan
Karena
besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan, dapat bernilai
ibadah dan amalan qurbah. Pekerjaan mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya,
berdagang, mengajar dan profesi lainnya, dapat menjadi ibadah dan jihad
fisabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari
hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak bertentangan dengan
perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula makan minum,
berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah dan
melaksanakan kewajiban kepada Rabb, maka akan diganjar berdasarkan niatnya. Orang
yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang
lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya.
Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya
engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau akan diberi pahala lantaran
nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu”. (HR. Bukhari,
no. 56; Fat-hul Bari, I/136 dan Muslim no. 1628, 5)
Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, ”Imam An-Nawawi mengambil istimbat dari
hadits ini, bahwa memberikan suapan kepada istri, biasanya terjadi pada waktu
bergurau, ketika timbul syahwat, dan yang demikian ini jelas. Namun, bila
dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan
keutamaan dari Allah.” (Fat-hul Bari, I/137).
Imam
Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat yang dijadikan dasar (oleh para ulama),
bahwa seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara
yang mubah dan pada perkara adat kebiasaan ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: (dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan). Niat ini
akan diganjar apabila dimasudkan untuk taqarrub kepada Allah. Sehingga, bila
tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala. Bahkan yang lebih
mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang mukmin kepada istrinya
pun dapat mendatangkan pahala di sisi Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan:
Dari
Abu Dzaar Al Ghifari radhiyallahu’anhu. Bahwa beberapa orang dari sahabat
Rasulullah, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai
Rasulullah. Orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala. Mereka shalat seperti
kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan
harta mereka.” Nabi bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu
bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya, bagi kamu, setiap kali
tasbih adalah shadaqah, setiap kali tahmid adalah shadaqah, menyuruh kepada
yang ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemungkaran adalah shadaqah, dan
menggauli (bersetubuh dengan) istri adalah shadaqah.” Para sahabat
bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami
melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda,
”Bagaimana pendapat kalian kalau ia melampiaskan syahwatnya kepada yang
haram, apakah ia berdosa? Maka demikian pula jika dia melampiaskannya
pada yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, no. 720,
1006. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 5/167,168 dan Abu
Dawud, no. 5243, 5244 dari sahabat Abu Dzar) Imam Nawawi
menjelaskan hadits ini: “Di dalam hadits ini ada dalil, bahwa perkara
yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’
(bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak
istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah,
atau untuk mendapat anak yang shalih, atau untuk menjaga dirinya dan
istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, atau memikirkan
(mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang
lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, VII/92). Suatu perbuatan yang mubah,
dapat dijadikan amal ibadah sehingga mendekatkan pelakunya kepada Allah,
namun ia tetap memiliki syarat-syarat tertentu. Ketentuan-ketentuan itu
sebagai berikut:
1.
Tidak
boleh menjadikan perkara mubah menjadi qurbah (ibadah) pada bentuk dan dzatnya.
Sebagaimana orang menduga, bahwa semata-mata berjalan, makan, berdiri, atau
berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk
memenuhi nadzarnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ia
berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya. (HR. Bukhari, Ahmad,
Abu Dawud, dan Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar).
2.
Hendaklah
yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Kata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah: “Hendaknya yang mubah dikerjakan untuk membantu dirinya
melaksanakan ketaatan.” (Majmu Fatawa, X/460).
3.
Hendaklah
seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan. Bahwa hal itu memang
benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah untuknya.
4.
Hendaknya
yang mubah (dibolehkan) itu tidak menyebabkan pelakunya celaka, atau
membahayakan dirinya sendiri. (Diringkas dan ditambah dari Qawaid Wa Fawaid Min
Arbain An-Nawawiyah, hlm. 34-35).
Oleh karena
itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal
mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan di atas, agar tidak
menghalalkan segala cara dan supaya bernilai di sisi Allah ta’ala.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Niat pada
dasarnya merupakan hal yang membedakan antara amal kebiasaan dengan amal
ibadah. Namun amal kebiasaan akan bernilai ibadah jika diiringi dengan niat.
Berbeda dengan amal ibadah harus benar-benar disertai dengan niat, jika tidak
berniat untuk melakukan suatu amalan, maka ibadah tersebut tidak sah. Dengan
demikian jelaslah bahwa keutamaan niat adalah untuk menentukan kualitas amal
ibadah seseorang, dan membedakan antara amal kebiasaan dengan amal ibadah.
B.
Kritik dan
Saran
Dalam segi
penyampain materi mungkin makalah ini lebih mudah dipahami. Namun, dari segi
materi yang dibahas penulis menyadari masih ada kekurangan. Maka, penulis harap
para pembaca dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun, agar ke
depannya ada proses penyempurnaan lebih lanjut dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hamid Hakim, al-Sulam, Sa’diyah Putra, Jakarta,
t.th.
Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyat al-Bajuri, jilid I , Usaha
Keluarga, Semarang; t.th.
Al-Albani, Nashiruddin, Muhammad. 2010. Sifat Shalat Nabi.
Surabaya; Duta Ilmu.
Azzam,
Muhammad, dkk. 2010. Fiqh Ibadah (tarj. Al-Wasith fi al-Fiqh al-‘Ibadat).
Jakarta: Amzah.
Mahfudh,
Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta; LKIS.
Muchlis, Usman. 2002. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, Rajawali Pres, Jakarta.
Nasution,
Lahmuddin. Fiqh Ibadah. t.th.
Qardhawi,
Yusuf. 2005. Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah (terj. Fatwa-Fatwa Kontemporer).
Jakarta; Gema Insani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar