BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Indonesia
merupakan pendidikan yang majemuk seperti halnya bangsa/penduduknya sendiri, penduduk Indonesia beraneka
ragam suku, ras dan agama yang membuat pendidikannya menjadi bervariasi. Majemuk dan bervariasi di sini bukan berarti kurikulumnya yang bervariasi, akan
tetapi bervariasi
dan majemuk di sini adalah dari segi sosial dan interaksi pelaku pendidikannya, seperti pendidik, peserta didik, tenaga kependidikan, dan
lain sebagainya yang notabene berbeda-beda latar belakang.
Hal ini pada akhirnya memunculkan sebuah interaksi sosial yang cenderung
berkelompok mencari anggota/teman yang sepadan. Sehingga berujung pada proses
stratifikasi sosial yang dalam hal ini adalah lingkungan sekolah mengarah kepada
hal-hal negatif dengan adanya prasangka, rasisme, sukuisme dan hal
negatif lainnya. Manakala hal ini tidak tertangani dengan adanya pendidikan,
dikhawatirkan hal ini akan membentuk kepribadian negatif yang merata dan akan
membentuk koloni/golongan yang sinis terhadap golongan yang lain ataupun
hubungan antar-golongan yang tidak serasi dan harmonis.
Lalu, apa saja sebenarnya
yang perlu dikuak dari proses stratifikasi dan hubungan antar-kelompok yang
telah berlangsung sekian lama di Indonesia ini khususnya? Dari sini pemakalah
mencoba menyusun materi ini untuk menelisik apa sebenarnya stratifikasi sosial
dalam hal pendidikan maupun hubungan antar-golongan yang terbentuk di dalam
interaksi yang ada pada pendidikan itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan
dibahasa dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan stratifikasi sosial?
2.
Bagaimana
proses terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya
dalam lingkup pendidikan?
3.
Hal
apa yang menjadi solusi akan adanya stratifikasi sosial?
4.
Apa
saja yang muncul dari adanya hubungan antar-kelompok?
5.
Solusi
apa yang bisa diusahakan dalam menanganinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Stratifikasi
Sosial
Dalam tiap masyarakat orang menggolongkan
masing-masing dalam berbagai kategori, dari lapisan yang paling atas sampai
yang paling bawah, dengan demikian terjadi stratifikasi sosial.[1]
Ada
beberapa definisi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mendefisinikan
stratifikasi sosial (Social
Stratification), yaitu[2]:
1. Menurut
Mayor Polak; sejumlah orang yang sama statusnya menurut penilaian masyarakat
dinamakan “stratum“
(lapisan) dan penggolongan masyarakat menurut strata (kata jamak dari stratum).
2. Menurut Patirim A. Sorokin; pembedaan sesuatu masyarakat (population) kedalam kelas-kelas secara hierarki (bertingkat).
Ada masyarakat yang
mempunyai stratifikasi sosial yang sangat ketat. Seorang lahir dalam golongan
tertentu dan ia tak mungkin meningkat ke golongan yang lebih tinggi.
Keanggotaannya dalam suatu kategori merupakan faktor utama yang menentukan
tinggi pendidikan yang dapat ditempuhnya, jabatan yang didudukinya, orang yang
dikawininya dsb. Golongan yang ketat ini biasanya disebut dengan kasta.
B.
Cara-cara Menentukan Golongan Sosial
Adanya golongan sosial timbul karena
adanya perbadaan status dikalangan anggota masyarakat. Untuk menentukan
stratifikasi social dapat diikuti 3 metode yakni:
a)
Metode obyektif
Stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria
obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis
pekerjaan.
b)
Metode subyektif
Golongan sosial anggota masyarakat menilai
dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu.
c)
Metode reputasi
Golongan sosial dirumuskan menurut
bagaimana anggota masyarakat menempatkan
masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu.
C.
Solusi Adanya Stratifikasi Sosial
1)
Golongan Sosial sebagai Lingkungan Sosial
Golongan sosial sangat
menentukan lingkungan sosial seseorang. Pengetahuan, kebutuhan dan tujuan,
sikap dan watak seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Sistem golongan
sosial menimbulkan batas-batas dan rintangan ekonomi, cultural dan sosial yang mencegah pergaulan dengan golongan-
golongan lain. Manusia mempelajari kebudayaannya dari orang lain dalam golongan
itu yang telah memiliki kebudayaan. Maka orang dalam golongan sosial tertentu
akan menjadi orang yang sesuai dengan kebudayaan dalam golongan itu dan dengan
sendiri mengalami kesulitan untuk memasuki lingkungan sosial lain[3].
2)
Tingkat
Pendidikan Dan Tingkat Golongan Sosial
Dalam berbagai studi tingkat pendidikan
tertinggi yang diperoleh seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan
sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yag tinggi antara
kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi oleh sebab
anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya sampai perguruan
tinggi. Orang yang termasuk golongan sosial atas beraspirasi agar anaknya
menyelesaikan pendidikan tinggi. Perbedaan sumber pendapatan juga mempengaruhi
harapan orang tua tentang pendidikan anaknya. Sudah selayaknya orang tua yang
berada, mengharapkan agar anaknya kelak memasuki perguruan tinggi. Soalnya
hanya universitas mana dan jurusan apa disamping tentunya kemampuan dan kemauan
anak. Sebaliknya, orang tua yang tidak mampu tidak akan mengharapkan pendidikan
yang demikian tinggi, cukuplah bila anak itu menyelesaikan SD paling-paling
SMP.
Faktor lain yang menghambat anak-anak golongan
rendah memasuki perguruan tinggi adalah kurangnya perhatian akan pendidikan di
kalangan orang tua. Banyak anak-anak golongan ini yang berhasrat untuk
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi akan tetapi dihalangi oleh ketiadaan
biaya. Banyak pula anak-anak yang putus sekolah karena alasan finansial.
Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk uang sekolah akan tetapi juga
untuk pakaian, buku dll.
3) Golongan Sosial dan Jenis
Pendidikan
Pendidikan menengah pada
dasarnya diadakan sebagai persiapan untuk pendidikan tinggi. Karena biaya
pendidikan perguruan tinggi pada umumnya mahal sehingga tidak semua orang
tua mampu membiayai studi anaknya. Pada umumnya, anak-anak yang orang tuanya
mampu, akan memilih sekolah menengah umum sebagai persiapan untuk studi di
universitas.
Orang tua yang mengetahui
batas kemampuan keuangannya akan cenderung memilih sekolah kejuruan bagi
anaknya, sebaliknya, anak-anak orang kaya tidak tertarik oleh sekolah kejuruan.
Dapat diduga bahwa sekolah kejuruan akan lebih banyak mempunyai murid dari golongan
rendah daripada yang berasal dari golongan atas. Karena itu dapat timbul
pendapat bahwa sekolah menengah umum mempunyai status yang lebih tinggi
daripada sekolah kejuruan.[4]
Demikian pula, mata
pelajaran yang berkaitan dengan perguruan tinggi mempunyai status yang lebih
tinggi pula, misalnya matematika dan fisika dipandang lebih tinggi daripada
olahraga, PKK atau tata buku.
4)
Bakat dan Golongan Sosial
Ada pendapat
bahwa anak golongan rendah pada umumnya kurang sanggup mengikuti pelajaran
akademis ditingkat sekolah menengah. Penelitian tentang angka-angka murid
menunjukkan bahwa angka-angka yang tinggi lebih banyak diperoleh murid-murid
dari golongan sosial yang tinggi. Semula, orang menganggap bahwa tes IQ sungguh
mengungkapkan bakat sebagai pembawaan yang konstan selama hidup. Ternyata bahwa
IQ anak kembar yang identik yang dididik dalam lingkungan berlainan kemudian
menunjukkan perbedaan dalam IQ-nya. Hal ini berarti, IQ seseorang dapat berubah dipengaruhi
oleh lingkungan.
5)
Mobilitas Sosial Melalui Pendidikan
Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk
mencapai kedudukan yang lebih baik dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan
yang diperoleh makin besar harapan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian,
terbuka kesempatan untuk meningkat ke golongan sosial yang lebih tinggi.
Pendidikan dilihat sebagai kesempatan untuk beralih dari golongan satu ke
golongan yang lebih tinggi, dikatakan bahwa pendidikan merupakan jalan bagi
mobilitas sosial.
Kini pendidikan tinggi dianggap suatu syarat
bagi mobilitas sosial. Bagi lulusan perguruan tinggi pun, kini sudah bertambah
sukar utuk memperoleh kedudukan yang baik. Di samping ijazah perguruan tinggi,
ada lagi faktor-faktor lain yang membawa seseorang pada perguruan tinggi. Dapat
kita pahami, bahwa anak-anak golongan rendah lebih sukar mendapat kedudukan
yang tinggi.
Guru-guru dapat mempengaruhi individu untuk
mencapai kemajuan, bila mereka mendorong anak untuk belajar agar mencapai
prestasi yang tinggi. Guru itu sendiri dapat menjadi model mobilitas sosial
berkat usahanya belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga
kedudukannya meningkat. Sebaliknya, guru dapat menghalangi mobilitas sosial
bila ia memandang rendah terhadap anak-anak dari golongan rendah dan tidak
yakin akan kemampuan mereka.
D. Pendidikan dan Hubungan
Antar Kelompok
1)
Prasangka dalam Hubungan Antar Kelompok
Bermacam-macam teori yang
telah dikemukakan bahwa prasangka adalah sebagai sesuatu yang wajar yang
sendirinya timbul bila terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa solider
dengan kelompok itu.
a.
Prasangka
sebagai sesuatu yang dipelajari
Teori ini memandang bahwa prasangka sebagai
hasil proses belajar seperti halnya dengan sikap-sikap lain yang terdapat pada
manusia seperti sikap senang atau tidak senangnya terhadap golongan lain adalah
hasil pengalaman pribadi yang berlangsung lama atau berdasarkan
pengalaman yang traumatis.
Jadi prasangka tidak
selalu timbul berkat pengalaman pribadi akan tetapi sering atas pengaruh sikap
yang pada umumnya terdapat dalam lingkungan, khususnya di rumah dan di sekolah.
b.
Prasangka sebagai alat mencapai
tujuan praktis
Golongan yang
dominan ingin menyingkirkan golongan minoritas dari dunia persaingan. Sikap itu
terdapat dikalangan penjajah terhadap bangsa yang dijajah agar dapat
dieksploitasinya.
c. Prasangka
sebagai aspek pribadi
Menurut
penelitian Murphy dan Likert ada dua orang yang mempunyai pribadi yang
berprasangka. Orang yang pribadinya berprasangka menaruh prasangka terhadap
berbagai hal. Maka kepribadian merupakan suatu faktor penting bila kita ingin
memahami hakikat dan perkembangan prasangka.
d.
Pendekatan
multi dimensional
Dalam berbagai
faktor yang dapat menimbulkan prasangka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
memahami prasangka harus kita gunakan pendekatan yang multi dimensional.
Prasangka dalam hubungan antar- kelompok perlu kita ketahui bahwa prasangka
bukanlah suatu instink yang dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari.
Karena prasangka itu dapat dipelajari maka prasangka itu dapat diubah atau
dikurangi bahkan dapat dicegah.
2)
Pendidikan umum dan
hubungan antar kelompok
Menurut
penelitian, makin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya
terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Mereka
yang berpendidikan universitas ternyata menunjukkan sikap yang paling toleran.
Namun, ada tidaknya prasangka tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan
saja. Pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga
diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan
mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat prasangka.[5]
3)
Struktur hubungan antar
kelompok di sekolah
Sekolah biasanya
terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis, salah satu aspek
yang perlu mendapat perhatian adalah memupuk hubungan sosial dikalangan
murid-murid. Program pendidikan antar-murid, antar golongan ini bergantung pada
struktur sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas dikalangan mereka
mempengaruhi hubungan antar kelompok itu.
Murid-murid di sekolah
kita juga sering menunjukkan perbedaan tentang asal kebangsaan, kesukuan,
agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu,
mungkin timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid yang tersembunyi
ataupun yang nyata.
Guru-guru hendaknya
memperhatikan struktur golongan-golongan dikalangan murid-muridnya. Apakah
anak-anak yang berasal dari daerah tertentu, yang berasal dari keturunan asing
atau yang berlainan agama diperlakukan dengan cara yang tak wajar oleh
teman-temannya atau disingkirkan dari kegiatan tertentu. Dengan perlakuan yang
demikian anak-anak yang didiskriminasikan akan merasa dirinya asing dan tak
diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat sekolahnya.
E.
Usaha-Usaha Memperbaiki
Hubungan Antarkelompok di Sekolah
Tiap sekolah perlu
memperhatikan hubungan antar-murid dan antar-kelompok, terlebih jika terdapat
golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan untuk memperbaiki hubungan
antar-kelompok, walaupun kekuasaan sekolah sangat terbatas.
Oleh sebab sekolah
terbatas kemampuannya untuk mengubah situasi sosial sekolah, dapat menggugah
nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa
keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di hadapan Tuhan. Cara ini dapat
dilakukan melalui pemberian informasi diskusi kelompok, hubungan pribadi dan
sebagainya.
Kebanyakan usaha dalam
perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsur penggugahan nilai dan sikap,
oleh sebab itu sekolah tidak mampu mengubah keadaan sosial dan prasangka dalam
masyarakat.
Di tengah pendidikan yang
dikonsep saebagai arena perjuangan antar kelas/strata sosial maka pendidikan
harus bisa diubah menjadi kekuatan yang bisa membebaskan diri dari operasi
kelas dominan. Perjuangan ini dimulai dengan pemberian penyadaran terhadap
siswa dan seluruh praktisi pendidikan. Mereka harus memiliki self-awareness
dan kesadaran kelas. Intervensi ke sekolah harus dilakukan, hal ini dimaksudkan
untuk mengubah karakter sekolah/pendidikan.[6]
4)
Efektivitas
pendidikan antar golongan
Usaha-usaha perbaikan hubungan antar keolmpok
didasarkan atas anggapan sebagai berikut:
a.
Prasangka disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.
b.
Pengalaman di sekolah dapat mengubah kelakuannya di luar sekolah dan
situasi-situasi lain.
c.
Hubungan pribadi dengan anggota kelompok lain akan mengurangi
prasangka.
5)
Efektivitas
pendidikan
Sekolah merupakan lembaga yang efektif untuk
mengurangi prasangka tidak dapat didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan.
Efektifitas program khusus tentang hubungan antar-kelompok tidak mudah dinilai.
Kebanyakan program itu corak pemberian informasi yang kemudian diuji dengan tes
tertulis.[7]
Perlu kita sadari bahwa sekolah hanya salah
satu dari sejumlah daya-daya sosial yang mempengaruhi hubungan antar-golongan.
Sekolah tak mampu mengubah masyarakat. Untuk menghilangkan prasangka terhadap
golongan lain, seluruh masyarakat harus turut serta termasuk pemerintah dan guru-guru
harus menjadi model pribadi yang toleran dalam ucapan maupun perbuatannya.
6) Dasar-dasar
bagi pendidikan antar golongan
Program-program tentang hubungan
antar-golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran yakni dengan menyampaikan
informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain lain. Prasangka dapat
pula menjadi aspek kebudayaan yang diperoleh melalui proses sosialisasi,
melalui situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Sekolah dapat memberikan
pelajaran agar anak tidak berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke
dalam situasi-situasi lain di luar sekolah menjadi pertanyaan, karena
kelakuannya akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan sosiologi pendidikan, tak jarang berhubungan dengan
stratifikasi sosial dan hubungan antar kelompok.
a)
Pendidikan dan Stratifikasi Sosial
1.
Menurut Mayor Polak; sejumlah orang yang sama statusnya menurut penilaian
masyarakat dinamakan“ stratum“ (lapisan) dan penggolongan masyarakat menurut
strata (kata jamak dari stratum).
2.
Menurut Patirim A. Sorokin; pembedaan sesuatu masyarakat (population) kedalam kelas-kelas secara hierarki (bertingkat).
b)
Menentukan Golongan Sosial
1.
Objektif
2.
Subjektif
3.
Reputasi
c)
Solusi adanya Stratifikasi Sosial
1.
Golongan
sosial sebagai lingkungan sosial
2.
Tingkat Pendidikan dan Tingkat Golongan Sosial
3.
Golongan Sosial dan Jenis Pendidikan
4.
Bakat dan Golongan Sosial
5.
Mobilitas Sosial melalui Pendidikan
d)
Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok
1.
Prasangka dalam hubungan antar kelompok
2.
Pendidikan umum dan hubungan antar kelompok
3.
Struktur dan hubungan antar kelompok di Sekolah
e)
Usaha-usaha memperbaiki hubungan antar kelompok di sekolah
1.
Efektifitas pendidikan antar golongan
2.
Efektifitas pendidikan
3.
Dasar-dasar bagi pendidikan antar kelompok
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Maliki, Zainuddin. 2008. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta:
GaMa University Press.
Nasution S. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
[1]
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara. Cet.3 2004) hal: 26
[2]
ary h. Gunawan, sosiologi pendidikan
suatu analisis sosiologi tentang berbagai problem pendidikan (jakarta: rineka
cipta. 2000) hal: 38
[3]
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara. Cet.3 2004) hal: 29
[4]
Ibid., hlm. 31.
[5]
Ibid., hlm. 50.
[6]
Zainuddin Maliki. Sosiologi
Pendidikan. (Yogyakarta: GaMa University Press. 2008). Hal: 173
[7]
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara. Cet.3 2004) hal: 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar