BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة
العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah)
atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan
ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan
dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan
semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke
dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota
dari Damaskus ke Baghdad.
Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang
mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan
dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang
sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang
melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang
menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang
dihimpun di perpustakaan Baghdad.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini terdiri dari rumusan
masalah berikut ini:
1. Bagaimana proses lahirnya Bani Abbasiyah?
2. Bagaimana kedudukan khalifah dalam Bani Abbasiyah?
3. Bagaimana sistem politik, pemerintahan dan bentuk negara Buwaihi, dan
Saljuki?
4. Bagaimana sistem sosialnya?
5. Bagaimana orientasi politik Bani Abbasiyah?
6. Apa yang menjadi tali ikat persatuan (agama dan kosmopolitanisme)?
7. Apa saja perkembangan peradaban yang dicapai oleh Bani Abbasiyah?
8. Bagaimana strategi kebudayaan: rasionalitas?
9. Apa saja perkembangan intelektual yang telah dicapai Bani Abbasiyah?
10. Bagaimana proses runtuhnya Bani Abbasiyah
11. Bagaimana transimisi peradaban dan kebudayaan Islam ke dunia Barat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas pada
tahun 750-754 M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya. Khalifah pertama
Abbasiyah ini menyebut dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi
julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru
muncul itu mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam
menjalankan kebijakannya. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga
setelah Khulafa’ Ar-Rasyidun dan Dinasti Umayah yang sangat besar dan berusia
lama. Dari tahun 750 M, hingga 1258 M, penerus Abu Al-Abbas memegang
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.[1]
Orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan,
yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekular (mulk) dinasti
Umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai
kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada
shalat Jumat, khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh
saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahannya, begitu
singkat. As-Saffah meninggal pada tahun 754 karena penyakit cacar air ketika
berusia 30-an.
B. Kedudukan Khalifah
Sepanjang sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah, para
khalifah adalah manusia biasa yang mempunyai titik kelemahan dan titik kekuatan
dalam sejarah hidupnya. Titik kekuatan dalam sejarah pemerintahan khalifah Abul
Abbas adalah kemampuannya memadamkan perusuhan dan pemberontakan yang meluas
sejak penghujung masa kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M) dan masa-masa
permulaan kekuasaan Daulah Abbasiyah (750-1256 M) hingga keamanan berangsur
pulih kembali dalam wilayah Islam yang demikian luasnya, dari perbatasan Thian
Shan di sebelah Timur dan pegunungan Pyrenees di sebelah Barat.
Titik kelemahan khalifah Abul Abbas terletak pada
kebijaksanaan pemerintahannya berdasarkan kekerasan, hingga digelari dengan
sebutan “penumpah darah” (Al-Saffah), sekalipun dalam banyak hal ia
memperlihatkan kebudimanan dan kedermawanan.
Pada masa al-Manshur, pengertian khalifah kembali
berubah. Dia berkata: “Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah
kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan
berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar
pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulah Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai
"gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini
lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
C. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk
Negara: Buwaihi, dan Saljuki
Pada mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang
baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesihon, tahun 762 M.
Dalam menjalankan sistem pemerintahan, Dinasti
Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan
at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan
ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos.
Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis
pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus
yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal
bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi
meriwayatkan bahwa Abd Al-Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu
hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya.
Pejabat pada bagian-bagian pemerintahan yang
mendampingi khalifah dalam masa pemerintahan Daulah Umayah disebut dengan
istilah Al-Katib (sekretaris). Dimana setiap pejabat bertanggung jawab atas
departemennya kepada khalifah, dan kedudukannya hanya bersifat Al-Musyir
(penasehat) terhadap khalifah.[2]
Sedangkan pada Daulah Abbasiyah dinamakan
dengan Al-Wazir (menteri), dan lembaga
pemerintahannya disebut Al-Wizarat, yang bertanggung jawab kepada khalifah dan
diatur dalam Qawanin al-Wizarat yakni tentang aturan pokok tentang Al-Wizarat.
Sistem tersebut dicetuskan untuk pertama kalinya oleh khalifah kedua yakni
Al-Manshur. Wazir pertama yang diangkat oleh Al-Manshur adalah Khalid bin
Barmak, berasal dari Balkh, Persia.[3]
Khalifah Al-Manshur juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negera disamping membenahi angkatan
bersenjata. Beliau menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara.[4]
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya
dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada
masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para
direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada
khalifah.
1. Bani Buwaihi
Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali,
Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam. Tiga saudara ini dalam sejarah
dikenal sebagai tentara bayaran. Ketika berkuasa di Baghdad, khalifah Bani
Abbas dijadikan penguasa simbolik (de jure), dan pengendalian pemerintahan
secara de facto berada di tangan para amir. Tiga bersaudara ini memiliki daerah
kekuasaan masing-masing. Ahmad Ibn Buwaihi berkuasa di Baghdad; Ali Ibn Buwaihi
(‘Imad al-Dawlat) berkuasa di Fars; dan Hasan Ibn Buwaihi (Rukn al-Dawlat)
berkuasa di Jibal, Rayy, dan Isfahan.[5]
Bani Buwaihi melucuti kekuasaan politik dan
sumber-sumber material para khalifah. Mereka menjadikan khalifah sebagai pemimpin
agama dan sekaligus menjadi alat yang dapat mereka gunakan untuk mencapai
ambisi mereka. Keunikan bani Buwaihi adalah bahwa para amir Buwaihi menganut
Syi’ah, tetapi mereka tidak menghapuskan khilafah (Sunni) hal ini kemudian
melahirkan analisis historis yang beragam. Menurut satu versi, mereka tidak
menghapuskan khilafah karena khawatir akan mendapat pertentangan dan perlawanan
dari para amir yang masih mengakui khalifah Bani Abbas.
Sekalipun tidak menghapuskan khilafah, Buwaihi
berupaya mengkampanyekan Syi’ah di Baghdad dengan beberapa gerakan: pertama,
Buwaihi menginstruksikan kepada pengelola masjid-masjid agar menuliskan kalimat
berikut: “Allah melaknat Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, yang merampas hak Fatimah
ra, yang melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan makam kakeknya SAW, dan
kedua, Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syi’ah dijadikan perayaan
resmi negara seperti perayaan 10 Muharram untuk memperingati kasus Karbala, dan
peringatan 12 Dzulhijjah sebagai yawm al-Ghadir yang dalam keyakinan Syi’ah,
Nabi SAW mewasiatkan kepada Ali Ibn Abi Thalib sebagai penguasa duniawi dan
agama sepeninggal beliau.[6]
2. Bani Saljuk
Bani Saljuk dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq.
Tuqaq (ayah Saljuk) adalah pemimpin suku Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai
wilayah Turkistan, tempat mereka tinggal.[7]
Saljuk Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima imperium Ulghur yang ditempatkan di
Selatan lembah Tahrim dengan Kasghar sebagai ibu kotanya. Karena merasa
tersaingi kewibawaanya, permaisuari raja Ulghur merencanakan pembunuhan
terhadap Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat direalisasikan rencana itu sudah
diketahui oleh Saljuk. Dalam rangka menghindari pembunuhan Saljuk dan
orang-orang yang setia kepadanya menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke
arah Barat, yaitu daerah Jundi (Jand) suatu daerah yang merupakan bagian dari
Asia kecil yang dikuasai dinasti Samaniyah yang dipimpin oleh amir Abd al-Malik
Ibn Nuh (954-961 M). Amir Abd al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di
Jundi dekat Bukhara. Terkesan oleh kebaikan Amir Abd al-Malik Ibn Nuh, Saljuk
dan pengikutnya memeluk Islam aliran Sunni sesuai dengan aliran yang dianut
oleh masyarakat setempat.
Saljuk Ibn Tuqaq membalas jasa kebaikan amir Abd
al-Malik Ibn Nuh dengan membantunya mempertahankan dinasti Samani dari serangan
musuh. Saljuk membantu dinasti Samani dalam menghadapi serangan-serangan
dinasti Ulghur. Dalam salah satu perang tersebut, Saljuk mati terbunuh dan Ia
meninggalkan tiga anak: Arselan, Mikail, dan Musa.
D. Sistem Sosial
Masuknya orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan
pada masa Abbasiyah yang dimulai dari keluarga Al-Barmark pada masa Harun
Ar-Rasyid telah memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal
kebangkitan Iran Baru yang berjiwa Islam. Apalagi dengan adanya perkawinan
keluarga khalifah seterusnya. Walaupun di sana-sini timbul pertentangan anara
orang-orang yang masih mempertahankan dominasi dan nasionalisme Arab di
kalangan keluarga khalifah dengan pihak yang telah beradaptasi dengan
kebudayaan Iran, hal itu tidak menghalangi proses lebih lanjut bagi perluasan
pengaruh Iran dalam dunia Islam pada waktu itu. Misalnya, dalam pembangunan
kota Baghdad, jelas sekali meniru pola kota di zaman Iran. Tata kota
dibagi-bagi secara serasi. Ada pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat
keagamaan, yang dikelilingi oleh perumahan yang disediakan untuk rakyat.[8]
E. Orientasi Politik
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para
khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti
ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
F. Tali Ikat Persatuan (Agama Kosmopolitanisme)
Pada masa khilafah Bani Abbas, banyak terjadi
perpecahan dikalangan umat Islam saat itu. Hal ini dikarenakan perbedaan
pemikiran yang terjadi di dalam kalangan Islam itu sendiri. Untuk mengatasi hal
tersebut khalifah Bani Abbas membuat peraturan untuk dijadikan sebagai
pemersatu umat Islam.
Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah paham
yang beranggapan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi
menjadi warga dunia. Keputusan ini pun di sambut baik oleh umat Islam, karena
mereka beralasan kalau setiap orang tidak ada perbedaan diantara lainnya, tidak
ada yang membedakan seseorang dengan status kewarganegaraan, semuanya merupakan
warga dunia yang sama antara satu dengan yan lainnya.
G. Perkembangan Peradaban: Perkembangan Kota,
Arsitektur, Teknologi, Industri, dan
Perdagangan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan industri rumah
tangga berkembang pesat dan maju. Industri kerajinan tangan menjamur diberbagai
pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industri karpet, sutera,
kapas, dan kain wol, satin, dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab, Suffah)
dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya.
Mesin penganyam Persia dan Irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu
Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham
dengan corak berbagai jenis burung dan emas yang dihiasi batu rubi dan
batu-batuan indah lainnya.
Sejak masa khalifah kedua Abbasiyah, Al-Manshur,
sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan
Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir
dan para pedagang muslim lainnya pada aba ke-3 Hijriah. Tulang punggung
perdagangan ini adal sutra, kontribus terbesar orang Cina kepada dunia Barat.
Biasanya, jalur yang disebut “jalan
sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina.[9]
Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara
estafet; hanya sedikti khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu. Di
sebelah barat, para pedagang Islam telah
mencapai Maroko dan Spanyol. Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor
barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra.
H. Strategi Kebudayaan Rasionalitas
Rasionalitas nampaknya menjadi pemicu berkembangnya kebudayaan
pada masa Bani Abbasiyah. Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani
Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Teologi rasional
Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun,
pemikiran-pemikiran yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa
pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokok perumus
pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu Al-Huzail Al-Allaf (135-235
H/752-849 M) dan Al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari
(873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak terpengaruh oleh
logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut
Mu’tazilah.[10]
I.
Perkembangan
Intelektual; Keagamaan, Pendidikan, Sains, Teknologi, Astronomi, Matematika,
Filsafat, Kedokteran, Ilmu Bumi, Sejarah, Sastra.
Dalam bidang keagamaan, imam-imam madzhab hukum yang
empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767
M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi
di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena
itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits.[11]
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibn
Hanbal (780-855 M). Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa
pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula. Akan tetapi, karena
pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan madzhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.
Pada masa Bani Abbas, lembaga pendidikan sudah mulai
berkembang. Ketika itu lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan
terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitung-hitungan dan
tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti:
tafsir, hadits, fiqih, dan bahasa.
2. Tingkat Pendalaman. Para pelajar yang ingin
memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau
beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masji-masjid atu
di rumah-rumah ulama bersangkutan.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi.[12]
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz
oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang buku-bukunya disusun di
atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh star
administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah
memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana berkerja dan
mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah
tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat ini menyimpan ribuah
manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah
itu kemudian didaftra dalam sepuluh jilid katalog.[13]
Dalam bidang sains, akibat pengaruh dari kebudayaan
bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, hal itu membawa
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Dalam bidang tafsir misalnya,
sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran. Pertama, tafsir bi al-ma’tsur,
yaitu intepretasi tradisional dengan mengambil intepretasi dari nabi dan para
sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak
bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi
jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional) sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.[14]
Dalam bidang astronomi muncul seorang tokoh bernama
Al-Biruni. Beliau adalah Abu Raihan Muhammad al-Biruni yang tinggal di istana
Mahmud di Gazni (Afganistan). Selain itu, Al-Biruni juga ahli dalam bidang
antropologi, matematika, dan sejarah. Al-Biruni menulis buku dengan judul Kitab
al-Hind atau Tahqiq ma al-Hind (Investigasi atas India). Buku tersebut
merupakan hasil penelitian yang dilakukan antara tahun 1017-1031 M di India.[15]
Dalam bidang matematika terkenal nama Muhammad Ibn
Musa Al-Khawarizmi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “al-jabar”
berasala dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqabalah.
Tokoh-Tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara
lain Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan intepretasi terhadap filsafat
Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang
terkenal di antaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di dunia Barat lebih
dikenal dengan nama Averrpoes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang
filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Dalam bidang kedokteran dikenal tokoh bernama
Al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dengan measles (campak). Dia juga orang pertama yang
menyusun buku tentang kedokteran anak. Sesudahnya ilmu kedokteran berada di
tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filsuf, berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang
merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.[16]
Kemudian dalam bidang sastra muncul tokoh penyair bernama Abu Ali al-Farisi
yang menulis Kitab al-Idhah (book of explanation). Sedangkan dalam ilmu bumi
dikenal tokoh bernama Istakhri.
J.
Keruntuhan Bani
Abbasiyah
Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak
daerah memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah
Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan
bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena
biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan
militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Selain itu,
penyebab kehancuran Bani Abbasiyah karena beberapa faktor berikut:
1. Faktor Intern
a.
Lemahnya
semangat patriotisme negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak
berdaya lagi menahan segala ancaman yang datang, baik dari dalam maupun dari
luar.
b.
Hilangnya sifat
amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan
kerendahan budi menghacurkan sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.
c.
Tidak percaya
pada kekuasaan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah
mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan
kelemahan khalifah.
d.
Kemerosotan
ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk tentara, banyaknya
pemberontakan dan kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya, kehidupan para
khalifah dan keluarganya serta pejabat-pejabat negara yang hidup mewah.
2.
Faktor Ektern
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi-provinsi
tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah.
Mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasan khalifah, tapi memberontak
dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad.
Pada tahun 565
H/1258 M, tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa
terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258),
betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah
Abbasiyah, Ibn Alqami ingin
mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah,
"Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan
ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul
itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata
dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan
khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan
orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan
khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua,
termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang
kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri
dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara
Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya
di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan
bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani
Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan
peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam
yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
K. Transmisi
Peradaban dan Kebudayaan Muslim ke Dunia Barat
Kemajuan dunia Barat termasuk di dalamnya
Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada khazanah
ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada periode klasik. Memang banyak
saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan
Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.[17]
Keuntungan Perang Salib bagi Eropa adalah
menambah lapangan perdagangan, mempelajari kesenian, dan penemuan penting,
seperti kompas pelaut, kincir angin dari orang Islam. Mereka juga dapat
mengetahui cara bertani yang maju dan mempelajari kehidupan industri timur yang
lebih berkembang. Ketika kembali ke Eropa, mereka mendirikan sebuah pasar
khusus untuk barang-barang timur.[18]
Orang barat mulai menyadari kebutuhan akan barang-barang dari timur, dan karena
kepentingan ini perdagangan antara timur dan barat menjadi lebih berkembang.
Selain itu, Spanyol merupakan tempat yang
paling utama bagi Eropa untuk menyerap peradaban Islam. Pengaruh peradaban
Islam ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar
di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti Universitas Cordova,
Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka
aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan
itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan
universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris
yang didirikan pada tahun 1231 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas pada tahun
750-754 M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya.
2. Konsep khilafah pada Bani
Abbasiyah berlanjut ke generasi sesudahnya, dan ini merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia,
bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun.
3. Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki
kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh
Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani
surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan
penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan
an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau
pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru
pada departemen administratif dan politik. Sistem pemerintahan Bani Abbasiyah
adalah monarki (kerajaan).
4. Dalam sistem sosialnya, Bani Abbasiyah banyak
dikuasai oleh orang-orang Iran. Bukan hanya itu, orang-orang Iran banyak
melibatkan diri dalam roda pemerintahan Bani Abbas.
5. Orientasi politik
lebih ditekankan pada dasar-dasar yang dibuat oleh Abul Abbas As-Saffah pendiri
Bani Abbasiyah.
6. Tali ikat persatuan
yang ada dalam masyaraka berupa paham yang menganggap tidak ada warga
masyarakat dalam sebuah pemerintah, tetapi merupakan warga dunia internasional.
7. Perkembangan Peradaban dapat dilihat dari adanya perkembangan
kota, arsitektur, teknologi, industri,
dan perdagangan
8. Strategi kebudayaan
rasional ditandai dengan lahirnya pemikiran-pemikiran yang lebih kompleks dan sempurna berupa teologi yang
dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi
kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.
9. Perkembangan
intelektual terjadi dalam berbagai bidang. Dalam bidang keagamaan, imam-imam madzhab hukum yang
empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Dalam bidang pendidikan
didirikan lembaga pendidikan berupa kutab yang berfungsi untuk mendidik
anak-anak, dan ada pula lembaga pendidikan untuk orang dewasa yang berfungsi
untuk proses pendalaman ilmu agama. Selain itu didirikan perpustakaan. Dalam
bidang astronomi muncul seorang tokoh bernama Al-Biruni. Dalam bidang
matematikan lahir tokoh bernama Al-Khawarizmi yang menemukan al-jabar.
10. Runtuhnya Bani
Abbasiyah disebabkan beberapa faktor, yaitu pengembangan hanya terjadi dalam
bidang peradaban dan kebudayaan saja, tanpa adanya pengembangan dalam bidang
politik. Sehingga integritas politik mudah digoyahkan. Adanya serangan dari
tentara Mongol, sehingga menghancurkan seluruh kekuasaan Bani Abbasiyah.
B. Kritik dan Saran
Dalam penyajian makalah ini, tentunya masih jauh
dari kesempurnaan. Baik dari segi teknis penulisan maupun bobot isi makalah
yang ada di tangan rekan-rekan akademisi ini. Oleh karena itu, kami sebagai
penulis mengharap ada masukan-masukan, kritik dan sarannya yang bersifat
membangun, agar kedepannya penyajian makalah berikutnya menjadi lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih.
2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Sou’yb, Joesoef. 1977. Sejarah Daulah
Abbasiyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Setia. 2008., hlm. 128
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah,
Jakart: Bulan Bintang, 1977, hlm. 35.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hlm. 51.
[4] Ibid.
[5] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm. 90.
[6] Ibid., hlm. 92.
[7] Ibid., hlm. 94.
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung; Pustaka Setia, 2008., hlm. 152.
[9] Ibid., hlm. 132-134.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II), Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2004., hlm. 57.
[11] Ibid., hlm. 56-57.
[12] Ibid., hlm. 54-55.
[13] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2008., hlm. 136-137.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004., hlm. 56.
[15] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004., hlm. 88.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004., hlm. 58
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004., hlm. 108.
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2008., hlm. 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar