Minggu, 23 Desember 2012

Fiqh Niat



BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Ibadah merupakan rangkaian ritual yang dilakukan sebagai wujud ketaatan seorang hamba kepada sang Pencipta. Dalam hal ini ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, zakat, puasa, maupun haji. Sahnya ibadah yang dikerjakan sepertihalnya dalam shalat harus disertai dengan niat.
Niat merupakan hal yang paling utama dilakukan dalam ibadah. Niat yang dimaksud di sini ialah mengucapkan dalam hati berkaitan dengan ibadah yang dikerjakan. Seperti dalam shalat; saya berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah taala.
Posisi niat itu berada pada awal rangkaian shalat. Niat itu mempunyai kedudukan yang penting. Maka, ibadah seseorang dikatakan sah jika dikerjakan dengan niat untuk melakukannya.
B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan niat?
2.      Apakah dasar hukum niat?
3.      Adakah amalan yang dapat bernilai ibadah?
4.      Apa urgensi niat dalam perbuatan?
5.      Bagaimana niat ibadah sebagai tujuan syariat?
6.      Apa pengaruh niat terhadap hal-hal yang mubah dan kebiasaan?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Niat
Menurut bahasa niyyat adalah bentuk masdar (asli) dari kalimat nawa syai’an yanwihi niyyatan wa nawahu. Lafazh an-niyyat meskipun bentuk masdar, apabila dijadikan bentuk jamak dengan segala jenisnya, maka akan menjadi niyyatun (Sulaiman 2006, 2).  Oleh karena itu, terkadang an-niyyat itu adalah suatu tindakan yang memang benar-benar wujud dan terkadang juga dihukumi  tidak wujud atau terkadang tergantung kepada tujuan si pengucap niat.
Secara istilah niat diartikan sebagai suatu tujuan dan keinginan adalah merupakan pandapat yang kuat dengan alas an melihat kebiasaan orang Arab yang menggunakan kalimat tersebut. Jadi, tujuan dan keinginan adalah merupakan bagian dari niat.
B.     Dasar Hukum Niat
Jika kita benar-benar menelaah ayat-ayat Al-Qur’an, niscaya kita akan mendapatkan ayat-ayat yang berbicara tentang al-qashdu dan an-niyyah. Pada umumnya ayat-ayat yang berbicara tentang al-qashdu dan an-niyyah adalah ayat yang berbicara tentang al-iradah dan al-ikhlash. Sementara kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan makna al-qashdu dan an-niyyah adalah kata ibtigha’.
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الأمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali-Imran: 152)
Matan Hadits tentang Niat:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Kosakata (Mufrodat):
الأعمال (العمل)     : Perbuatan
امرء       : Seseorang
نوى                  : (Dia) niatkan
امرأة      : Seorang wanita

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan([1]) tergantung niatnya([2]).  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya ([3]) karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).
a.       Asbabul Wurud
Tentang asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu’allam. (Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37).
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani: “…Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan hadits innamal a’malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu.” (Fat-hul Bari, I/10).
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami’il Ulum Wal Hikam, hlm.37).
b.      Kedudukan Hadits
Banyak perkataan ulama tentang hadits ini, di antaranya:
1.      Imam Nawawi berkata, ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya.”
2.      Imam Syafi’i berkata, ”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” (Syarah Shahih Muslim, XIII/53).
3.      Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, ”Hadits tentang niat masuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau juga: “Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya.” (Syarah Muslim, XIII/53; Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/61). Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini. Abu Abdillah mengatakan, ”Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling banyak manfaatnya, melainkan hadits ini.” (Tuhfatul Ahwadzi V/286).
4.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan pokok penting dari prinsipprinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal.” (Majmu’ Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari hadits-hadits tersebut.
5.      Imam Syaukani berkata, ”Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” (Nailul Authar, I/159).
c.       Makna Hadits
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
(innama) susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr  pembatasan,yang diartikan dengan “hanya”, maka hashr ialah, menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal Arba’in an-Nawawiyah, hal. 25).
اْلأَعْمَالُ
Artinya, “amal-amal”. Kata jamak dari yang diawali dengan alif lam ال , yang menunjukkan arti istighraq yang berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan
makan, minum, berpakaian dan yang lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam al-Muntaqa min Jami’il ‘Uluum wal Hikaam, hal. 30-31).
Jadi maknanya, setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar 1/157). Bisa juga diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima, ditolak, diganjar atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31).
C.    Amalan Yang Dapat Bernilai Ibadah Dengan Niat
Amalan yang dapat memiliki nilai ibadah , karena Anda melakukannya dengan niat yang baik ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
Dan yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk memenuhi kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri Anda dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi Anda, tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda :
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Dan dengan melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa mendapatkan pahala". Spontan para Sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasulullah, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi, kita mendapatkan pahala karenanya?' Rasulullah balik bertanya, "Apa pendapat kalian bila ia melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)
Imam Nawawi رحمه الله berkata, "Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai ibadah. Hubungan badan -misalnya-bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri, atau memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allah perintahkan. Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga dengan maksud melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau menginginkannya atau niat-niat baik yang lain." (Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 7/92).
Kalau ini baru Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak amal rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan. Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik Anda.
Dengan demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allah عزّوجلّ. Tanpa niat yang baik nan tulus, Anda tidak mungkin meraihnya.
Sekali lagi renungkan! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka senang dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat menjalankan kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allah kepada Anda sebagai suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping istri Anda tetap senang dan dengan izin Allah semakin setia kepada Anda.
Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu. (Muttafaqun 'alaih)
Bila demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allah عزّوجلّ padanya? Jawabannya, tentu yang kedua.
D.    Urgensi Niat dalam Perbuatan
Salah satu perkara yang menunjukkan akan pentingnya niat di dalam pelaksanaan ibadah dan perbuatan adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiari tidak akan dilakukan oleh manusia tanpa didahului dengan keinginan untuk melakukan perbuatan tersebut. Dalil dari pendapat ini adalah sabdar Rasulullah SAW, yang artinya, “Orang yang paling jujur adalah Haris dan Hammam”.
Ibnu Hammam juga mengatakan bahwa setiap perbuatan yang bersifat ikhtiyari haruslah dilakukan dengan niat. Sementara Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berniat untuk suatu perbuatan adalah sesuatu yang sangat penting bagi jiwa, seandainya setiap hamba dibebani untuk melaksanakan suatu perbuatan tanpa niat, sesungguhnya mereka telah dibabani dengan sesuatu yang tidak akan dapat mereka kerjakan.
E.     Niat dan Tujuan Syariat
Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniatkan. Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun.
Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air  tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah. Contoh lain, ada seseorang tidak makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa. Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan.
Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”. (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan Muslim
Kitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari) Kedua, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat. (Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang dengan makna iradah, dan terkadang dengan makna qashd dan sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al-Isra` ayat 18-19.
F.     Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal yang Mubah dan Kebiasaan
Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan, dapat bernilai ibadah dan amalan qurbah. Pekerjaan mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi lainnya, dapat menjadi ibadah dan jihad fisabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak bertentangan dengan perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb, maka akan diganjar berdasarkan niatnya. Orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya. Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu”. (HR. Bukhari, no. 56; Fat-hul Bari, I/136 dan Muslim no. 1628, 5)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, ”Imam An-Nawawi mengambil istimbat dari hadits ini, bahwa memberikan suapan kepada istri, biasanya terjadi pada waktu bergurau, ketika timbul syahwat, dan yang demikian ini jelas. Namun, bila dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Allah.” (Fat-hul Bari, I/137).
Imam Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat yang dijadikan dasar (oleh para ulama), bahwa seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan pada perkara adat kebiasaan ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan). Niat ini akan diganjar apabila dimasudkan untuk taqarrub kepada Allah. Sehingga, bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang mukmin kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala di sisi Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan:
Dari Abu Dzaar Al Ghifari radhiyallahu’anhu. Bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah. Orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala. Mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya, bagi kamu, setiap kali tasbih adalah shadaqah, setiap kali tahmid adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemungkaran adalah shadaqah, dan menggauli (bersetubuh dengan) istri adalah shadaqah.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, ”Bagaimana pendapat kalian kalau ia melampiaskan syahwatnya kepada yang haram, apakah ia berdosa? Maka demikian pula jika dia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, no. 720, 1006. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 5/167,168 dan Abu Dawud, no. 5243, 5244 dari sahabat Abu Dzar) Imam Nawawi menjelaskan hadits ini: “Di dalam hadits ini ada dalil, bahwa perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’ (bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah, atau untuk mendapat anak yang shalih, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, VII/92). Suatu perbuatan yang mubah, dapat dijadikan amal ibadah sehingga mendekatkan pelakunya kepada Allah, namun ia tetap memiliki syarat-syarat tertentu. Ketentuan-ketentuan itu sebagai berikut:
1.      Tidak boleh menjadikan perkara mubah menjadi qurbah (ibadah) pada bentuk dan dzatnya. Sebagaimana orang menduga, bahwa semata-mata berjalan, makan, berdiri, atau berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya. (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar).
2.      Hendaklah yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Hendaknya yang mubah dikerjakan untuk membantu dirinya melaksanakan ketaatan.” (Majmu Fatawa, X/460).
3.      Hendaklah seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan. Bahwa hal itu memang benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah untuknya.
4.      Hendaknya yang mubah (dibolehkan) itu tidak menyebabkan pelakunya celaka, atau membahayakan dirinya sendiri. (Diringkas dan ditambah dari Qawaid Wa Fawaid Min Arbain An-Nawawiyah, hlm. 34-35).
Oleh karena itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan di atas, agar tidak menghalalkan segala cara dan supaya bernilai di sisi Allah ta’ala.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Niat pada dasarnya merupakan hal yang membedakan antara amal kebiasaan dengan amal ibadah. Namun amal kebiasaan akan bernilai ibadah jika diiringi dengan niat. Berbeda dengan amal ibadah harus benar-benar disertai dengan niat, jika tidak berniat untuk melakukan suatu amalan, maka ibadah tersebut tidak sah. Dengan demikian jelaslah bahwa keutamaan niat adalah untuk menentukan kualitas amal ibadah seseorang, dan membedakan antara amal kebiasaan dengan amal ibadah.
B.     Kritik dan Saran
Dalam segi penyampain materi mungkin makalah ini lebih mudah dipahami. Namun, dari segi materi yang dibahas penulis menyadari masih ada kekurangan. Maka, penulis harap para pembaca dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun, agar ke depannya ada proses penyempurnaan lebih lanjut dalam makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Hamid Hakim, al-Sulam, Sa’diyah Putra, Jakarta, t.th.
Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyat al-Bajuri, jilid I , Usaha Keluarga, Semarang; t.th.
Al-Albani, Nashiruddin, Muhammad. 2010. Sifat Shalat Nabi. Surabaya; Duta Ilmu.
Azzam, Muhammad, dkk. 2010. Fiqh Ibadah (tarj. Al-Wasith fi al-Fiqh al-‘Ibadat). Jakarta: Amzah.
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta; LKIS.
Muchlis, Usman. 2002.  Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Rajawali Pres, Jakarta.
Nasution, Lahmuddin. Fiqh Ibadah. t.th.
Qardhawi, Yusuf. 2005. Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah (terj. Fatwa-Fatwa Kontemporer). Jakarta; Gema Insani.


1. Yang dimaksud perbuatan disini adalah amal ibadah yang membutuhkan niat. Adapun perbuatan buruk niat baiknya tidak akan merubah buruknya menjadi baik
2.  Niat adalah keinginan dan kehendak hati.
3. Hijrah secara bahasa artinya : meninggalkan, sedangkan menurut syariat  artinya : meninggalkan negri kafir menuju negri Islam dengan maksud menyelamatkan agamanya. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah perpindahan dari Mekkah ke Madinah sebelum Fathu Makkah (Penaklukan kota Mekkah th. 8 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar